
Rupiah ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pasca adanya serangkaian serangan udara militer Israel terhadap Iran pada Sabtu (26/10/2024) pagi.
Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup di level Rp15.720/US$ pada awal pekan ini Senin (28/10/2024) terpuruk hingga 0,54% dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya (25/10/2024). Selama satu hari penuh, fluktuasi rupiah pada kisaran Rp15.735/US$ hingga Rp15.660/US$.
Pelemahan rupiah hingga titik ini merupakan yang terdalam pasca terakhir kali terjadi pada 13 Agustus 2024 di titik Rp15.830/US$.
Sementara DXY tepat pukul 15.00 WIB melesat hingga 0,12% di angka 104,385. Angka ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan penutupan pekan lalu yaitu berada di angka 104,257.
Rupiah terus tertekan sepanjang hari ini hingga penutupan perdagangan bersamaan dengan menguatnya DXY dan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah setelah Israel melancarkan serangan udara terhadap Iran pada Sabtu (26/10/2024).
Eskalasi konflik ini mendorong harga minyak mentah dunia naik signifikan, dengan WTI melonjak 3,69% dan Brent melesat 4,09% secara mingguan. Sentimen risk-off mendominasi pasar seiring kekhawatiran investor akan potensi perluasan konflik di kawasan tersebut.
Arab Saudi telah menghimbau semua pihak untuk menahan diri dan mengajak masyarakat internasional mengambil tindakan meredakan ketegangan.
Meningkatnya risiko geopolitik membuat investor cenderung menghindari aset berisiko dan mengalihkan dana ke instrumen yang lebih aman.
Selain itu, pelaku pasar juga menantikan rilis data lowongan kerja AS yang diperkirakan akan turun menjadi 7,92 juta posisi, lebih rendah dari periode sebelumnya sebesar 8,04 juta. Data ini akan menjadi indikator penting bagi arah kebijakan moneter The Federal Reserve ke depan.
Ke depan, rupiah masih akan dibayangi sentimen eksternal, terutama perkembangan situasi di Timur Tengah dan data-data ekonomi AS yang dapat mempengaruhi arah kebijakan The Fed.