Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membeberkan bahwa ada usulan tambahan sektor industri penikmat harga gas “murah” atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) US$ 6 per MMBTU.
Walau belum pasti sektor industri mana yang akan ditambah menjadi penerima HGBT, Bahlil menegaskan pihaknya memastikan hal itu bertujuan untuk menambah sisi kompetitif industri di dalam negeri.
Pihaknya pun perlu mengkaji nilai keekonomiannya terlebih dahulu, termasuk apakah potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan HGBT ini bisa terkompensasi dari peningkatan pendapatan dari perpajakan industri tersebut dan lainnya.
Seperti diketahui, tujuh sektor industri penikmat HGBT saat ini yaitu industri keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet.
“Itulah kemudian agar industri itu bisa kompetitif, maka diberikan HGBT. Nah sekarang kalau dari 7 itu rasanya hampir bisa dapat dipastikan untuk dilanjutkan. Tetapi karena ada pengusulan tambahan (penerima HGBT). Nah pengusulan tambahan itu kita lagi menghitung secara ekonominya,” jelas Bahlil saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Dia membeberkan bahwa pemerintah telah “mengorbankan” potensi pendapatan negara hingga Rp 67 triliun selama 2021-2024 untuk program HGBT.
Bahlil menegaskan kelanjutan program harga gas “murah” untuk industri tersebut jangan sampai merugikan negara lebih besar lagi dengan tidak ada kompensasi peningkatan pendapatan dari hasil stimulus tersebut.
“HGBT selama 2021-2024 potensi pendapatan negara yang terkonversi menjadi HGBT itu sebesar Rp 67 triliun. Jadi jangan sampai semua gas kita kasih ke HGBT negara nggak dapat pendapatan,” bebernya.
Dengan begitu, Bahlil mengatakan, pihaknya harus menghitung ulang nilai keekonomian dari HGBT yang akan diberikan pada tujuh sektor industri saat ini, beserta usulan tambahan sektor industri baru.
Setidaknya, Bahlil menilai, seharusnya negara bisa mendapatkan pemasukan dari konversi menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dari program HGBT di Indonesia yang direncanakan akan dilanjutkan untuk tahun 2025 ini.
“Jadi kita hitung betul, dia harus kita kasih (HGBT), tapi dia harus industri yang menciptakan lapangan pekerjaan. Terus gas itu menjadi bahan baku. Terus dia harus mengkonversi ke PPN atau PPh. Ini yang kita lagi hitung ya,” tandasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana pernah menyebutkan bahwa ada usulan tambahan industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dari Kementerian Perdagangan untuk tahun 2025 ini.
Dadan menyebutkan, sejatinya ada 258 industri penerima harga gas murah dari pemerintah hingga tahun 2024. Dadan mengatakan, saat ini yang masih berlaku adalah 7 sektor penerima HGBT di Indonesia.
Pihaknya, masih menunggu rapat dengan Presiden RI Prabowo Subianto untuk merumuskan perjanjian jual-beli gas sektor industri penerima HGBT. Seperti diketahui, HGBT ini ditetapkan US$ 6 per MMBTU.
“Ada yang usulannya itu ada dua jenis. Satu, yang sektor industrinya sama dengan yang sekarang yang existing, yang sudah berlaku, yang tujuh (sektor industri). Terus ada juga yang di luar itu. Nah, minggu lalu kan saya bilang untuk yang di luar itu perlu ada rapat yang dipimpin oleh Presiden. Nah ini kita belum memikirkan itu, tapi basisnya adalah bahwa gasnya sudah ada. Dia kan sudah punya perjanjian jual-beli gas sekarang,” jelasnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Senin (13/1/2025).
Walaupun masih menunggu arahan lebih lanjut, Dadan menyebutkan pihaknya tetap memperhitungkan kecukupan penerimaan negara dan kecukupan dari pasokan gas untuk sektor industri penerima HGBT yang akan berlaku tahun 2025 ini.
“Kan sudah ada (Perjanjian Jual Beli Gas), tapi nanti komposisi penerimaan negara dan komposisi penerimaan dari KKKS itu akan berubah. Begitu komposisi yang HGBT-nya misalkan naik. Kan totalnya itu menjadi berkurang,” tambahnya.
Pihaknya saat ini tengah memperhitungkan keekonomian dari industri yang sudah menerima HGBT pada tahun 2024 lalu. Jika ada evaluasi penerima HGBT di Indonesia, maka pihaknya juga akan memperhitungkan keekonomian dari keputusan yang akan datang.
“Itu yang menjadi tahap kedua kalau bagi ESDM untuk yang baru. Untuk yang baru ini masih kita pelajari. Yang sedang saya proses itu untuk yang existing. Existing kan lebih jelas, sudah ada basis harga dari yang kemarin. Lebih cepat lah hitung-hitungnya. Tapi kita juga lagi mengerjakan juga,” paparnya.