Profil Presiden Korsel Yoon Suk Yeol: Skandal-Darurat Militer

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol menyampaikan pernyataan dalam pernyataan bersama dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Sabtu, 15 Juli 2023, di Kyiv, Ukraina. (AP Photo/Jae C. Hong)

Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol mencuri perhatian dunia dengan menerapkan darurat militer di negara itu, Selasa malam waktu setempat. Keputusan ini pun menempatkan militer sebagai penanggung jawab, yang tak lama menggeruduk gedung parlemen Majelis Nasional.

Dalam pidatonya pada Selasa malam, Yoon menceritakan upaya oposisi politik untuk melemahkan pemerintahannya. Ia kemudian mengumumkan darurat militer untuk ‘menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan’.

Liputan media lokal menunjukkan pasukan bertopeng dan bersenjata memasuki gedung parlemen sementara staf mencoba menahan mereka dengan alat pemadam kebakaran. Sekitar pukul 23:00 waktu setempat, militer mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas oleh parlemen dan faksi politik, media juga ditempatkan dalam kendali pemerintah.

Walau ketegangan semakin tinggi, Majelis Nasional tetap mengambil posisi untuk menentang situasi darurat tersebut. Setelah pukul 01:00 pada hari Rabu, Majelis Nasional, yang dihadiri 190 dari 300 anggotanya, menolak tindakan tersebut dan dengan demikian, deklarasi darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.

Meski berumur pendek, langkah penerapan darurat militer ini merupakan yang pertama kalinya dalam hampir 50 tahun. Langkah ini juga mewarnai perjalanan karir Yoon sebagai politisi yang juga orang nomor satu di Negeri K-Pop.

Dari Nol hingga Berkuasa

Yoon adalah pendatang baru dalam dunia politik saat ia memenangkan kursi kepresidenan. Ia menjadi terkenal secara nasional setelah mengajukan tuntutan kasus korupsi terhadap mantan Presiden Park Geun Hye yang dipermalukan pada tahun 2016.

Pada tahun 2022, politikus kelahiran 1960 ini mengalahkan lawannya dari partai liberal Lee Jae Myung dengan selisih kurang dari 1% suara. Saat itu, Yoon dianggap sebagai tokoh yang dapat membawa perubahan besar bagi Korsel.

“Mereka yang memilih Yoon percaya bahwa pemerintahan baru di bawah Yoon akan mengejar nilai-nilai seperti prinsip, transparansi, dan efisiensi,” kata Don S Lee, profesor madya administrasi publik di Universitas Sungkyunkwan.

Selama memimpin, Yoon telah memperjuangkan sikap agresif terhadap Korea Utara (Korut). Ia bahkan meningkatkan kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat menuju level ‘basis nuklir’ sebagai upaya untuk menahan ambisi Pyongyang.

Skandal dan Kesalahan

Yoon dikenal karena kesalahan-kesalahannya, yang tidak membantu peringkatnya. Selama kampanye 2022, ia harus menarik kembali komentarnya bahwa presiden otoriter Chun Doo Hwan, yang mengumumkan darurat militer dan bertanggung jawab atas pembantaian para pengunjuk rasa pada tahun 1980, telah ‘pandai berpolitik’.

Kemudian pada tahun itu, ia kedapatan sedang berbicara menggunakan mikrofon sambil mengumpatkan kata ‘idiot’ di depan anggota parlemen AS. Rekaman itu dengan cepat menjadi viral di Korsel.

Selain kesalahan, Yoon juga dilanda skandal. Sebagian besar skandal berpusat di sekitar istrinya, Kim Keon Hee, yang dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan pengaruh, terutama dugaan menerima tas Dior dari seorang pendeta.

Pada bulan November, Yoon meminta maaf atas nama istrinya sambil menolak seruan untuk melakukan penyelidikan atas aktivitasnya. Namun, ia menolak penyelidikan yang lebih luas, yang menjadi permintaan partai-partai oposisi.

Meski begitu, popularitasnya sebagai presiden masih belum stabil. Pada awal November, peringkat persetujuannya anjlok hingga 17%, rekor terendah sejak ia menjabat.

Terpojok di Depan Oposisi

Pada bulan April, Partai Demokrat yang beroposisi memenangkan pemilihan parlemen dengan telak, sehingga menimbulkan kekalahan telak bagi Yoon dan Partai Kekuatan Rakyatnya.

Dalam laporan BBC News, setelah kemenangan Partai Demokrat, pemerintahannya sejak saat itu tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan. Mereka malah dipaksa untuk memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.

Pada pekan ini, Partai Demokrat yang beroposisi memangkas 4,1 triliun won (Rp 46 triliun) dari anggaran yang diusulkan pemerintah Yoon sebesar 677,4 triliun won (Rp 7.600 triliun). Sayangnya, hal ini tidak dapat diveto oleh presiden.

“Yoon diturunkan jabatannya menjadi presiden yang tidak berdaya dan terpaksa memveto rancangan undang-undang yang disahkan oposisi, sebuah taktik yang ia gunakan dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.” kata Celeste Arrington, direktur Institut Studi Korea Universitas George Washington.

Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi, termasuk kepala badan audit pemerintah, karena gagal menyelidiki Ibu Negara.

Pemakzulan di Depan Mata?

Tidak jelas apa yang terjadi sekarang pasca darurat militer dibatalkan dan apa konsekuensinya bagi Yoon. Walau begitu, muncul laporan bahwa anggota parlemen sedang bergerak untuk memakzulkannya sebagai presiden.

Proses yang relatif mudah ini akan membutuhkan lebih dari dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional yang memberikan suara untuk memakzulkannya, atau setidaknya 201 kursi. Setelah pemakzulan disetujui, akan ada proses peradilan yang diadakan Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan 9 hakim konstitusi.

Jika enam anggota pengadilan memberikan suara untuk mendukung pemakzulan, presiden akan dicopot dari jabatannya.

Jika ini terjadi, ini bukan pertama kalinya seorang presiden Korsel dimakzulkan. Pada tahun 2016, Presiden Park Geun-hye saat itu dimakzulkan setelah dituduh membantu seorang teman melakukan pemerasan.

Pada tahun 2004, presiden lainnya, Roh Moo-hyun, dimakzulkan dan diskors selama dua bulan. Mahkamah Konstitusi kemudian mengembalikannya ke jabatannya.

Pakar dari Universitas Ewha, Leif-Eric Easley, berpendapat bahwa hal ini mungkin lebih merusak reputasi Korsel sebagai negara demokrasi daripada kerusuhan 6 Januari di AS. Pasalnya, hal ini tidak perlu dilakukan karena berdampak sangat luas.

“Pernyataan darurat militer Yoon tampaknya merupakan tindakan yang melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik, yang secara tidak perlu membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan,” katanya kepada BBC News.

“Ia terdengar seperti politisi yang terkepung, mengambil langkah putus asa melawan skandal yang meningkat, hambatan institusional, dan seruan untuk pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat”, tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*