Pemerintah Diminta Hati-Hati Buka Impor Sapi Demi MBG, Ada Apa?

Sebanyak 3.288 sapi asal Australia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (12/5/2022).  (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Sebanyak 3.288 sapi asal Australia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (12/5/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menanggapi rencana pemerintah yang akan mengimpor sapi perah dan sapi sapi potong masing-masing sebanyak 1 juta ekor, demi menyongsong program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Menurutnya, rencana impor tersebut justru akan semakin memberatkan neraca perdagangan pangan nasional. Padahal, ada opsi atau kebijakan yang menurutnya bisa diambil pemerintah dalam memenuhi kebutuhan program MBG, tanpa harus menambah jumlah impor.

“Sebetulnya ada alternatif lain agar MBG ini tidak malah menambah impor dan membebani neraca perdagangan pangan. Yakni dengan memanfaatkan sumber protein dan pelengkap nutrisi yang ada, sesuai dengan potensi daerah,” kata Eliza kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/9/2024).

Sejalan dengan itu, Eliza menyebut kebutuhan konsumsi daging sapi dan susu nasional sebelum adanya program MBG pun sebagian besar masih dipenuhi dari impor. Misalnya saja, daging sapi-kerbau 54% nya dipenuhi dari impor dan susu sapi berkisar 80%.

Dengan melihat data tersebut, ia menilai kebijakan impor 1 juta ekor sapi menjadi tidak bijak, dan seharusnya mengutamakan potensi alternatif lain yang sudah ada di dalam negeri, seperti susu kedelai atau susu kambing dari peternak lokal.

Di lain sisi, ia menilai susu sapi juga tidak memiliki manfaat yang lebih baik dari sapi kambing dan kedelai. Mengingat, tingginya tingkat prevalensi intoleransi laktosa di Indonesia. “Pada anak usia 3-5 tahun, tingkat intoleransi laktosa sebesar 21,3%, usia 6-11 tahun sebesar 57.8%, dan pada anak usia 12-14 tahun sebesar 73% (Hegar dan Widodo A, 2015). Maka alternatifnya bisa dengan susu kedelai atau susu kambing dari peternak lokal,” lanjut dia.

Eliza mengingatkan pemerintah sebetulnya memiliki banyak pilihan kebijakan supaya tidak harus bergantung pada impor. Namun kebijakan itu, menurutnya, akan kembali lagi kepada tujuan dari kepentingan pemerintah itu sendiri.

“Mana yang didahulukan oleh pemerintah? Apakah ini menjadi kebijakan populis semata, menguntungkan segelintir pihak, namun memberatkan neraca perdagangan kita, atau akan dijadikan sebagai program untuk melakukan transformasi pangan yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dari akar rumput, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan produktivitas nasional,” ujarnya.

Dengan keterbatasan anggaran MBG per anak sekitar Rp15.000, ia menilai semestinya sumber protein lebih banyak diambil dari telur, ikan, dan daging ayam. “Karena kalau daging sapi ini akan lebih mahal,” tukas dia.

“Tingkat konsumsi ikan Indonesia berkisar di angka 56 kg per kapita per tahun, jauh sekali dibandingkan negara jepang yang konsumsi ikan per kapitanya itu sudah 140 kg per kapita per tahun. Padahal sumber daya perikanan jepang tidak sebesar Indonesia. Dalam hal ini ada ruang bagi pemerintah untuk mendorong peningkatan konsumsi ikan sekaligus untuk mencegah adanya lonjakan impor daging sapi untuk program MBG,” pungkas Eliza.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*