Sebuah bentrokan sektarian terjadi antara kelompok Sunni dan Syiah di Pakistan barat laut, Sabtu malam (23/11). Hal ini pun menewaskan sedikitnya 25 orang.
Melansir New York Times, bentrokan itu juga membuat sejumlah rumah warga, pasar dan properti pemerintah rusak, kata pejabat dan warga setempat. Kekerasan itu terjadi di Kurram, distrik pegunungan yang indah di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Menurut pejabat setempat, bentrokan ini berlangsung dua hari atau sejak Kamis (21/11) setelah serangan terhadap konvoi penumpang Syiah yang menewaskan 42 orang.
Sebagai informasi, Pakistan sebagian besar adalah Muslim Sunni, tetapi populasi Kurram yang berjumlah 800.000 hampir setengahnya adalah Muslim Syiah, sebuah dinamika yang berkontribusi terhadap ketegangan suku dan sektarian.
Pejabat dan warga mengatakan bahwa kekerasan itu dimulai pada Jumat sore (22/11) di beberapa bagian distrik tempat kelompok Sunni dan Syiah tinggal berdekatan satu sama lain.
Muhammad Shoaib, seorang penduduk kota berpenduduk Sunni tempat konvoi Syiah diserang pada hari Kamis, mengatakan bahwa ratusan orang bersenjata lengkap dari sekte saingan telah menyerang pasar utama pada Jumat malam dan membakar puluhan toko dan rumah.
“Selama berjam-jam pada malam itu, baku tembak sengit terjadi antara kedua belah pihak, dengan senjata besar digunakan secara bebas,” kata Shoaib, yang pada Jumat pagi telah memindahkan keluarganya untuk tinggal bersama kerabat di distrik tetangga karena khawatir akan keselamatan mereka.
“Kami tahu akan ada serangan balasan. Ini adalah siklus kekerasan yang telah kami saksikan dan derita selama bertahun-tahun sekarang,” kata Shoaib.
Pihak berwenang masih berupaya memulihkan ketertiban dan mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.
Javed ullah Mehsud, seorang pejabat senior administrasi distrik, mengatakan bahwa sedikitnya 25 orang tewas dalam kekerasan tersebut. Ia mengatakan bentrokan terus berlanjut di sedikitnya tiga lokasi.
“Upaya untuk memulihkan perdamaian sedang dilakukan melalui pengerahan pasukan keamanan dan keterlibatan dengan dewan suku setempat,” kata Mehsud. Jam malam telah diberlakukan di jalan utama, dan pasar tetap tutup, dengan semua lalu lintas dihentikan,” ungkap Mehsud.
Pada Jumat siang, para korban serangan mematikan itu dimakamkan dan ribuan pelayat berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.
“Bukan hal baru bagi kami untuk menguburkan begitu banyak orang dalam satu hari. Sebagai penganut Syiah, kami dibunuh di mana-mana, seperti di pasar, masjid, di jalan dan di mana-mana,” kata Mukhtar Hussain, seorang pelayat dari Parachinar, kota berpenduduk mayoritas Syiah di Kurram tempat sebagian besar korban berasal.
Kelompok Syiah di Pakistan telah mengumumkan masa berkabung tiga hari atas bentrokan tersebut. Serta telah mengorganisir protes di semua kota besar Pakistan.
Allama Ahmed Iqbal Rizvi, seorang pemimpin Syiah, mengatakan bahwa berbagai kelompok militan, seperti Tehreek-e-Taliban Pakistan dan afiliasi lokal ISIS yang disebut Provinsi Khorasan ISIS, atau ISIS-K telah menargetkan penduduk Syiah di Kurram untuk waktu yang lama.
“Ini adalah ketidakmampuan pemerintah dan lembaga negara,” kata Rizvi.
Rizvi pun mengeluh bahwa mereka tidak dapat melindungi warga yang bepergian di jalan sepanjang 155 mil yang menghubungkan Kurram dengan Peshawar, ibu kota provinsi.
Bulan ini, ribuan orang dari Parachinar menggelar pawai damai sejauh 10 mil untuk menuntut pembukaan kembali jalan dan jaminan keamanan. Pihak berwenang menanggapi dengan memulihkan akses sementara dan menjanjikan konvoi yang dilindungi pemerintah tiga kali seminggu.
Tahun ini merupakan tahun yang sangat mematikan di Kurram. Pada akhir Juli, bentrokan selama seminggu antara komunitas Sunni dan Syiah menewaskan 46 orang dan ratusan lainnya terluka. Kekerasan lainnya pada bulan September menewaskan 45 orang dan melukai puluhan lainnya.
Para ahli mengaitkan eskalasi konflik sektarian dengan interaksi kompleks berbagai faktor yang berakar pada konteks sosial-ekonomi dan sejarah wilayah tersebut.
Di antaranya adalah kedekatan dengan Afghanistan, populasi Syiah yang signifikan, ketegangan atas kepemilikan tanah, dan pemerintahan yang lemah selama puluhan tahun di bawah hukum suku kolonial.
“Kesenjangan sosial-ekonomi, dengan wilayah mayoritas Syiah yang seringkali lebih maju daripada wilayah mayoritas Sunni, yang berjuang dengan infrastruktur yang tidak memadai dan tingkat literasi yang rendah, semakin memperburuk ketegangan ini,” kata Tahmeed Jan, seorang peneliti yang berbasis di Islamabad yang telah bekerja di wilayah tersebut.