Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6% per November 2024. Keputusan ini di luar ekspektasi 15 lembaga atau institusi yang memproyeksikan BI Rate akan turun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, ia menekankan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah.
“Fokus kami tentu saja bagaimana melakukan stabilitas nilai tukar rupiah, sementara ini BI rate nya kami pertahankan dulu,” kata Perry saat konferensi pers hasil rapat dewan gubernur BI di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Perry berpendapat, ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat disertai dengan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Rencana kebijakan perdagangan di Amerika Serikat (AS) melalui kenaikan tarif impor, komoditas, dan cakupan negara yang lebih luas telah menyebabkan risiko peningkatan fragmentasi perdagangan dunia.
Perkembangan ini yang disertai dengan eskalasi ketegangan geopolitik di banyak negara mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 diprakirakan melambat menjadi 3,1% dari sebesar 3,2% pada 2024.
Di sisi lain, inflasi dunia meningkat dibandingkan prakiraan sebelumnya dipengaruhi oleh gangguan rantai suplai. Diperburuk dengan potensi penurunan suku bungan bank sentral AS, yakni Fed Funds Rate (FFR) berpotensi lebih lambat akibat inflasi yang lebih tinggi tersebut.
Sementara itu, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Akibatnya, penguatan mata uang dolar AS secara luas terus berlanjut disertai berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.
Hal ini meningkatkan tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang. Nilai tukar rupiah pun ia katakan sampai ikut terdepresiasi dalam hingga saat ini.
Nilai tukar Rupiah pada Desember 2024 (hingga 17 Desember 2024) melemah sebesar 1,37% (ptp) dari bulan sebelumnya. Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut dipengaruhi oleh makin tingginya ketidakpastian global terutama terkait dengan arah kebijakan AS, ruang penurunan FFR yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS.
“Perkembangan ekonomi global yang diikuti dengan tetap tingginya ketidakpastian pasar keuangan global tersebut memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatifnya terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,” ucap Perry.
Sementara itu, dari sisi domestik, ia pastikan kondisi ekonomi masih akan positif, dengan pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh permintaan dalam negeri. Investasi diprakirakan tumbuh positif pada triwulan IV 2024 ditopang oleh penyelesaian berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dan investasi swasta didukung insentif dari Pemerintah.
Konsumsi rumah tangga diprakirakan tetap tumbuh didorong oleh keyakinan konsumen yang terjaga serta dampak positif pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah. Konsumsi Pemerintah lebih tinggi seiring dengan kenaikan aktivitas belanja Pemerintah pada akhir tahun.
Ekspor nonmigas diprakirakan melambat dipengaruhi ekonomi global yang belum kuat. Secara sektoral, pertumbuhan juga ditopang terutama oleh Sektor Industri Pengolahan, Konstruksi, serta Perdagangan Besar dan Eceran.
Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7-5,5% dan meningkat menjadi 4,8-5,6% pada 2025.
Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat bauran kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan bersinergi erat dengan kebijakan stimulus fiskal Pemerintah. Upaya tersebut didukung dengan optimalisasi stimulus kebijakan makroprudensial dan akselerasi digitalisasi transaksi pembayaran yang ditempuh Bank Indonesia.
“Dari sisi penawaran, kebijakan reformasi struktural Pemerintah perlu terus diperkuat untuk mendorong sektor ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja,” ucapnya.
Meski kondisi ekonomi global tidak menentu, kondisi stabilitas sitem keuangan di dalam negeri ia pastikan masih kondusif, seiring dengan baiknya potensi pertumbuhan ekonomi. Bahkan, neraca pembayaran Indonesia atau NPI ia pastikan masih tetap sehat untuk mendukung terjaganya stabiltias eksternal.
NPI 2024 diprakirakan tetap berdaya tahan seiring dengan berlanjutnya surplus neraca transaksi modal dan finansial didukung oleh aliran masuk modal asing dan terjaganya defisit transaksi berjalan dalam kisaran rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB.
“Prospek NPI yang tetap sehat diprakirakan berlanjut pada 2025 didukung oleh aliran masuk modal asing dan defisit transaksi berjalan yang terjaga dalam kisaran defisit 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB,” ucap Perry.
Inflasi pun ia pastikan tetap terjaga karena per November 2024 masih sebesar 1,55%. Perkembangan ini dipengaruhi oleh inflasi inti yang terkendali pada level 2,26% (yoy) sejalan dengan konsistensi kebijakan suku bunga Bank Indonesia untuk mengarahkan ekspektasi inflasi. Sementara itu, kelompok volatile food (VF) mencatat deflasi 0,32% (yoy) didukung oleh peningkatan pasokan pangan seiring berlanjutnya musim panen, eratnya sinergi pengendalian inflasi TPIP/TPID melalui GNPIP, dan pengaruh base effect harga pangan.
“Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi IHK tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah Bank Indonesia, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi,” ucap Perry.
Dengan berbagai catatan ini, Perry mengatakan, ke depan, Bank Indonesia terus mencermati pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta dinamika kondisi ekonomi yang berkembang, dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga kebijakan lanjutan.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, melalui penguatan strategi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) mulai Januari 2025, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, dengan memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.