
Industri teknologi Amerika Serikat (AS) terguncang gara-gara kemunculan layanan kecerdasan buatan (AI) DeepSeek asal China. Saham-saham raksasa teknologi rontok dan menyebabkan harta 500 orang terkaya dunia merosot tajam.
Pasalnya, DeepSeek mengklaim model AI teranyarnya R1 yang sudah bisa menyaingi GPT-4.0 dan o1 milik OpenAI dikembangkan dengan biaya murah, hanya sekitar US$6 juta atau puluhan kali lipat lebih efisien ketimbang AI buatan AS.
DeepSeek mengklaim pengembangan AI-nya menggunakan chip lawas H800 buatan Nvidia yang masih diperbolehkan untuk dijual ke China oleh AS.
Popularitas DeepSeek langsung membuat Microsoft dan OpenAI bereaksi dan menuduh perusahaan China itu diam-diam mencaplok data OpenAI untuk pengembangan sistem AI-nya.
Lebih lanjut, laporan terbaru menyebut DeepSeek diam-diam menggunakan chip canggih yang dilarang AS ke China, yakni H100 milik Nvidia. Dilaporkan bahwa DeepSeek menggunakan 50.000 GPU H100.
Menurut CEO Scale AI, Alexandr Wang, para pekerja DeepSeek tak bisa mendiskusikan penggunaan chip canggih Nvidia secara publik karena melanggar regulasi AI, dikutip dari The Express Tribune, Jumat (31/1/2025).
“DeepSeek memiliki sekitar 50.000 chip H100s yang tak bisa mereka umbar karena larangan ekspor AS,” kata Wang dalam wawancara dengan CNBC International.
Ia juga menekankan bahwa akses masa depan untuk chip-chip tersebut kemungkinan besar akan makin dibatasi oleh regulasi AS.
Elon Musk mendukung klaim dari Wang dengan menyebut “tentu saja” dalam unggahan di media sosial yang merujuk pada wawancara Wang.
Startup AI asal China seperti DeepSeek dan Qwen kini bersaing pada tingkat tinggi dan berpotensi melampaui model AS dalam hal efektivitas biaya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan regulasi AS di bidang AI, terutama dengan potensi inovasi China yang terus menantang kepemimpinan AI global.